Petualang Cinta II
Sambungan dari bagian 01
Kami lalu ngobrol kesana kemari diselingi joke-joke khas wanita lajang.
Suasana menjadi hangat dan akrab. Tanpa terasa jam dinding menunjukkan
pukul delapan malam, namun Nova yang tadi takut-takut, kini malah
tampak betah. Memang Mbak Ida, terlepas dari bagaimana bentuknya,
adalah orang yang ramah dan menyenangkan. Sekedar info, ia adalah
seorang designer yang kerap kali bekerja sama dengan perusahaan
tempatku bekerja. Dan ia sering kami pakai karena kelebihannya itu, ia
memiliki people skill yang tinggi. Tidak seperti umumnya orang seprofesi dia, yang sulit
untuk memahami orang lain dan cenderung menganggap orang lain awam.
Meski gayanya mendandani rumah cenderung aneh, dia sama sekali bukan
tipe orang yang nyentrik atau weird dalam hubungan kerja. Ia amat profesional.
Pembicaraan berlanjut sampai kemudian Mbak Ida mengantar Nova
berkeliling rumahnya. Aku yang dulu sudah pernah ke situ tidak ikut
berkeliling, aku mengambil sebuah buku dari rak di sudut ruangan dan
mulai membacanya. Sebuah buku paperback bagus, yang berjudul Rich Dad Poor Dad, oleh Robert Kiyozaki. Cukup lama aku membaca buku itu sampai kemudian Nova datang kembali ke ruang tamu menjumpaiku.
"Mbak Sari, pulangnya nggak buru-buru kan?" tanyanya dengan mata kekanak-kanakan.
"Oh? Nggak kok", jawabku sambil melirik arloji.
"Emang mau ngapain kamu?"
"Mbak Ida ngajak aku nyobain kolam renangnya, kata dia airnya hangat", jawab Nova lagi.
"Yah, terserahlah. Tapi apa kamu bawa baju renang?" tanyaku.
"Dia mau minjemin kita baju renang kok", jawab Nova sambil menunjukkan sebuah kantong plastik yang berisi pakaian renang.
"Ganti bajunya di kamar mandi situ, Nov!" kata Mbak Ida yang tiba-tiba muncul.
Kali ini Mbak Ida muncul dengan kimononya sudah tidak lagi diikat,
dibiarkannya terbuka begitu saja, dari balik kimono tampak bikini
renang berwarna merah seperti rambutnya. Hmm.. kontras dan indah juga
perpaduan warna itu, kulitnya yang kuning agak gelap dan bikini serta
rambut merah. Dalam hati aku sempat iri dengan bentuk badan Mbak Ida
yang padat dan berbentuk, sementara badanku sendiri cenderung ceking
dan datar panjang-panjang.
"Kamu ikutan sekalian deh, Sar!" Ajak Mbak Ida lagi.
"I Promise I won't do anything", lanjutnya penuh arti.
Aku hanya mengangkat bahu dan tidak punya pilihan lain. Apalagi Nova menarik lenganku masuk ke kamar mandi.
Kamar mandi rumah ini jadi terkesan aneh karena tidak ada yang aneh
di dalamnya. Kamar mandi klasik berukuran besar dengan bak mandi di
sudut, cermin besar di dekatnya, sebuah kloset di sampingnya, dan
sebuah pintu menuju ke ruang lain. Begitu biasa jika dibandingkan
dengan suasana dalam rumah. Di situ Nova tanpa malu-malu mempreteli
semua yang melekat di badannya dan mengenakan bikini yang dipinjamkan
Mbak Ida.
"Kamu kok milih yang bikini sih?" tanyaku sambil memilih-milih pakaian renang dalam kantong plastik.
"Emang kenapa, Mbak?" Jawab Nova sambil melenggak-lenggok di depan cermin menatap keindahan bentuknya yang memang indah.
"Kan nggak ada cowok", lanjutnya lagi.
Aku memilih pakaian renang biasa saja, Speedo berwarna biru muda.
Hmm, terasa agak longgar di bagian dada dan pinggang, menunjukkan
dimana perbedaan antara bentuk badanku dan badan Mbak Ida. Sempat
menatap cermin, dan.. yah.. aku memang sama sekali tidak jelek! Pikirku
sambil menatap garis tubuhku yang menurutku paling indah di seluruh
dunia.
Tiba di pinggiran kolam renang Mbak Ida, rasa-rasanya aku malas
untuk masuk ke air. Entah kenapa, tapi rasa-rasanya gambar kartun di
dasar dan dinding kolam itu mengganggu pikiranku. Sementara Nova hanya
mengomentari bahwa gambar kartun itu lucu. Yah, memang dia jarang
memperhatikan sampai ke detail, hingga dia lantas nyemplung begitu saja
bersama dengan Mbak Ida yang sudah lebih dulu masuk ke air. Dari tepi
kolam aku mengamati bahwa di dinding-dinding kolam renang terdapat
lampu-lampu besar, hingga dalam air dapat terlihat dengan jelas. Aku
melihat tubuh lencir Nova berenang-renang dengan latar belakang
gambar-gambar wanita kartun yang ketakutan karena dililit oleh ular-ular besar.
Hmm, pemandangan yang menarik sebenarnya, namun aku memilih untuk duduk
saja di tepi kolam, membiarkan angin malam menyejukkan kulit tubuhku
yang hanya tertutup pakaian renang. Karena merasa kelewat dingin,
akhirnya aku membungkus badanku dengan kimono Mbak Ida yang
ditinggalkannya di tepi kolam, dan berjalan mengelilingi halaman
belakangnya yang lumayan besar dan bersih, mencari si pembantu tadi
sekedar untuk teman ngobrol, tapi pemuda itu juga tidak ada. Dalam
hati, aku merasa sedikit bersalah karena mengerti siapa Mbak Ida
sebenarnya. Wanita itu tak lain adalah petualang juga, sama seperti aku
sendiri. Namun yang berbeda adalah bahwa buruannya seringkali berasal
dari teman sejenis, dan bukan lawan jenis. Itu sebabnya pikiranku
sekarang terasa seperti membawa Nova ke mulut singa. Tapi, ah, masa
bodoh! Aku kan bukan baby sitter untuk Nova. Meski keberadaannya
seringkali membuatku merasa memiliki seorang adik, tapi jalan hidupnya
kan bukan urusanku, itu pilihannya sendiri.
Dari tempatku berdiri di sudut halaman belakang, kolam renang Mbak
Ida tidak terlihat karena tertutup pagar tanaman setinggi satu meteran.
Tapi setelah lama, aku baru menyadari kalau aku tidak mendengar suara
deburan air seperti yang kudengar tadi. Aku mulai merasa tidak enak,
dan segera melangkahkan kaki ke arah kolam renang. Seperti dugaanku,
Nova dan Mbak Ida sudah tidak berada di kolam renang, juga di
sekitarnya, mereka mungkin sudah masuk ke dalam rumah. Aku berusaha
melihat melalui dinding kaca, tidak ada siapa-siapa di ruang tamu atau
ruang tengah.
"Di mana kedua orang itu", pikirku. Kucoba membuka pintu kaca geser
untuk masuk ke ruang tengah, ternyata terkunci. Berarti aku terpaksa
harus memutar melalui pintu depan. Agak risih juga hanya mengenakan
pakaian renang terbalut kimono tipis dan berjalan di antara pohon-pohon
pisang di kegelapan. Akhirnya aku sampai ke garasi tempat 318i Mbak Ida
teronggok congkak. Lalu membelok ke kiri, dan aku tiba di beranda yang
menakutkan tadi. Tampak si Lubas Herera kini memandangi aku sambil
mengibas-ngibaskan ekor. "Anjing tolol ini tentu tidak bisa ditanyai
keberadaan tuannya", pikirku. Lalu aku membuka pintu depan yang
untungnya tidak terkunci, dan kembali berada di ruang tamu. Seperti
yang kuduga, ruang tamu itu kosong.
Aku berjalan mondar-mandir di situ sambil memikirkan kira-kira ke
mana kedua temanku tadi. Akhirnya aku mencoba alternatif terburuk,
yaitu kamar tidur Mbak Ida. Konyolnya, aku tidak menjumpai pintu lain
selain ke kamar mandi dan ke kolam renang tadi. Rumah ini memang terasa
begitu besar karena tidak ada sekat-sekat ruangannya. Berarti dimana
letak kamar tidurnya? Setelah berpikir beberapa menit, naluri
petualangku mengatakan bahwa kamar tidur seorang pemburu umumnya tergabung dengan kamar mandi atau setidaknya memiliki akses
langsung ke kamar mandi. Aku jadi teringat akan pintu di kamar mandi
tadi. Segeralah aku melangkah ke kamar mandi, oops! kimono panjang ini
mengganggu langkahku, jadi aku melepaskan dan menaruhnya di meja makan.
Setibanya aku di kamar mandi, terlihat pintu yang kumaksud terbuka
sedikit. Lampu kamar mandi yang terang membuat aku tidak dapat melihat
apa-apa dari celah pintu itu, tampak temaram di sana. Pelan-pelan aku
melangkahkan kaki ke sana. Setelah makin dekat, terasa dinginnya
hembusan hawa AC dari celah pintu yang terbuka sedikit itu, terdengar
pula alunan lembut musik sound track Titanic dari Kenny G. Hmm, apakah
mereka berdua ada di situ? Kalaupun iya, apa yang mereka lakukan?
Bukankah Nova seorang straight? Apakah Mbak Ida mencoba menjahili Nova?
Atau apakah Nova ingin mencoba petualangan baru? Berbagai pikiran jorok
berkembang dalam benakku, membuat aku tidak segera memasuki ruangan di
balik pintu itu. Hm.. apakah aku harus langsung masuk? Atau mungkin
menunggu di ruang tamu sambil pura-pura tertidur? Atau harus mengintip
dulu? Uhh.. bingung juga. Anyway, aku harus melakukan sesuatu, bukan?
Setelah memantapkan diri, aku memegang handel pintu dan dan
mendorongnya hingga terbuka. Nah, tampaklah kamar tidur Mbak Ida yang
ternyata tidak terlalu besar, namun dindingnya berlapis kayu jati
berwarna gelap. Lampu yang kuning temaram membuat suasana terasa gelap.
Dinding kayu itu polos tidak tertempeli hiasan apa-apa, karpet tebal di
lantai juga polos berwarna coklat tua, tepat di tengah-tengah ruangan
teronggok tempat tidur kayu besar. Nah, di atas ranjang besar itulah
Nova tertelungkup dengan bikininya, sementara si pembantu pria yang
tadi kucari-cari kini sedang duduk di atas pantat Nova dan memijiti
punggung wanita itu.
Keduanya tampak agak terkejut melihat kehadiranku. "Wah, Sari! Kamu
juga mau ikutan ya?" Terdengar suara Mbak Ida mengejutkanku. Wanita itu
duduk di sebuah sofa di pinggir kamar. Rambutnya masih tampak basah
dari kolam renang tadi, bikini merahnya yang tipis dan agak basah tidak
berfungsi menyembunyikan apa-apa lagi.
"Pijitan si Beni enak nggak, Nov?" cerocos Mbak Ida.
"Mmm.. mm.. lumayan lah, Mbak!" jawab Nova yang masih tertelungkup di ranjang, dipijit oleh si Beni yang bertelanjang dada.
"Oh, well.." Aku seperti kehabisan kata-kata karena dihadapkan pada
suasana yang agak tidak wajar. Aku lantas duduk di sofa di samping Mbak
Ida, mengamati wajah Nova yang kini tampak terpejam-pejam karena otot
kakinya sedang dipijat oleh si Beni. Dari cara memijatnya, sepertinya
Beni memang orang yang ahli dalam hal tersebut, bukan hanya seorang
yang asal pencet. Setelah sesaat mencoba beradaptasi, aku menengok ke
Mbak Ida.
"Mbak Ida nggak dipijit juga?" Tanyaku.
"Aku sih udah selesai", jawabnya singkat.
"Kamu mau nyoba? Enak lho, Sar."
"Iya coba aja Mbak Sari!" sahut Nova yang rupanya sudah selesai dipijit, ia kini menghampiri sofa tempat kami duduk.
"Enak kok, jadi terasa lebih lentur seperti jelly!" candanya
menambahkan. "Eh, Ben! Jangan kembali dulu, nih Ibu Sari juga pengen
dipijit!" seru Mbak Ida pada pemuda Maluku itu.
Aku beranjak menuju tempat tidur besar itu. Beni tampak tersenyum
manis dan mengangguk hormat padaku. "Hmm.. Not bad", pikirku. Meski
amat pendek dan hanya setinggi dadaku, pemuda ini otot-ototnya lumayan
jadi juga. Beni yang kulit tubuhnya hitam legam itu hanya mengenakan
celana jeans pendek yang menunjukkan adanya tonjolan khas pria,
baguslah, pikirku. Ia normal, pria mana yang tidak bereaksi seperti itu
kalau diijinkan menyentuh badan si Nova yang memang atletis dan kesat.
Nah, kita tunggu bagaimana reaksi dia setelah memijiti badan si pemburu
ini. Hmm, pemuda yang beruntung, pikirku nakal.
"Apa perlu saya buka pakaian?" tanyaku pada Beni dengan nada serius namun bertujuan menggoda.
Pemuda itu diam dan tampak bingung lalu melirik ke arah majikannya.
"Hahaha!" Mbak Ida tertawa gelak.
"Nggak apa-apa Ben! Ibu Sari itu badannya oke punya lhoo!" Beni
tampak ragu-ragu dan menelan liur, reaksi yang aku sukai untuk digoda!
Aku malah tanpa ragu-ragu menurunkan lengan pakaian renang ini ke kiri
kanan dan menariknya ke bawah, hingga kini pemuda beruntung itu dapat
melihat segalanya di bawah sinar lampu yang kuning temaram. Mulut Beni
menganga menyaksikan semuanya. Di hadapannya berdiri si pemburu, tanpa
selembar benang pun, dengan postur yang satu setengah kali lebih tinggi
darinya, berwarna kuning bersih dan halus semampai. Aku menarik nafas
dalam agar kedua dadaku membusung ke depan, lalu menghembuskan nafas
lagi hingga kedua bukit yang tidak besar itu kembali ke posisi semula,
dan bola mata Beni mengikuti gerakan kedua benda indah itu. Aku
tersenyum sambil menyipitkan mata menggodanya, dan memanjat naik ke
ranjang dan membaringkan badanku tertelungkup di kasur pegas empuk itu.
"Hey, ayo, jangan bengong, Ben!" Seru Mbak Ida sambil tertawa-tawa.
"Tunjukkan pijitan terbaikmu!"
"Lho, emangnya yang diberikan ke aku tadi bukan pijitan dia yang terbaik?" tanya Nova yang kini duduk di samping Mbak Ida.
"Lah, kalau buat Sari ya lain dong Nov!" cerocos Mbak Ida lagi.
"Untuk Sari kan harus yang.. hmm.. menyentuh!"
Nova dan Mbak Ida lalu tertawa tawa sementara kini kurasakan
tangan-tangan Beni mengoleskan baby oil ke betisku dan mulai memijit.
"Waa!" Aku menjerit keras ketika kurasakan pijitan jari-jari Beni
begitu keras dan menyakitkan. Kontan saja Beni menghentikan pijitannya
dan memasang ekspresi penuh rasa bersalah.
"Pelan-pelan aja, Mas Beni!" kataku mencoba menghiburnya, "Mulai dari punggung aja nggak apa-apa kok."
Lantas Beni mulai mengolesi punggungku dengan baby oil, dan mulai
memijit pelan-pelan. Hmm.. harus kuakui rasanya memang mantap dan
membuat rileks. Biasanya, pria yang tahu memijit wanita adalah pria
yang hebat di ranjang, tapi aku segera membuang pikiran konyol itu dan
memejamkan mata menikmati pijitan-pijitannya yang melemaskan otot. Hmm,
menyenangkan sekali dipijit oleh pemijit ahli, di ruangan ber-AC yang
temaram, diiringi musik instrumental Kenny G.
Saat asyik-asyiknya memejamkan mata menikmati suasana, aku
sayup-sayup mendengar erangan wanita di tengah alunan lembut saxophone
itu. Apakah memang di kaset Kenny G terdapat sound effect seperti itu?
Ah, aku rasa tidak. Aku membuka mata sedikit, dan menatap lurus ke arah
sofa di pinggir kamar. Dan aku segera mendapat jawaban dari mana
rintihan itu berasal. Di atas sofa itu, Mbak Ida juga tampak sedang
memijit badan Nova dari belakang. Tepatnya, Mbak Ida sedang
mengusap-usap pinggang Nova yang terbuka, sambil menciumi leher kawanku
itu. Novanya tidak menunjukkan perlawanan sedikitpun, malah tangan
kirinya memeluk kepala Mbak Ida yang kini mencium dan menjilati leher
kirinya.
Pelan-pelan jemari lentik Mbak Ida merambati pinggang Nova ke atas,
lalu menyusup ke balik bikini basah yang dikenakan Nova. Membuat
payudara Nova seperti tersentak-sentak karena nafasnya menjadi sulit
diatur. Wajah Nova yang terpejam itu kini tampak begitu terangsang oleh
gerakan-gerakan Mbak Ida. Dengan gerakan cepat, Mbak Ida melepaskan
bikini bagian atas itu, hingga kini kedua payudara Nova yang memang
menurutku amat indah, padat, putih bersih dengan puting kecoklatan itu
terpampang jelas.
"Hey, kamu kok membuka mata, Sar?" kata Mbak Ida yang kini menatap
tajam ke arahku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kulihat wajah Nova,
wajah itu kini tampak sayu dan matanya menatap ke arahku dengan tatapan
dingin dan datar, seolah tidak ingin aku mengganggunya. Ya ampun,
pikirku. Apa yang aku kuatirkan telah terjadi. Pijitan-pijitan Beni
kini tidak lagi terasa. Aku mengangkat kepalaku dari ranjang dan
bermaksud meminta Mbak Ida berhenti mempermainkan badan Nova. Namun
Nova malah mengelus paha Mbak Ida yang kini menghimpit pinggangnya di
kiri-kanan.
"Tenang aja lah Sar, Nggak apa-apa kan, sekali-sekali!" seru Mbak Ida.
"Ben, kamu ikuti apa yang aku kerjakan ya?"
Mengakhiri kalimatnya itu, Mbak Ida lalu meremas-remas payudara
Nova dengan mantap namun lembut sambil menjilati rahang dan lehernya.
Nova tampak memiringkan kepalanya, terpejam-pejam sambil mendesah-desah
menggumamkan nama Mbak Ida. Tiba-tiba aku merasakan apa yang kini
dirasakan oleh Nova. Tangan-tangan Beni menyusup di antara payudaraku
dan kasur ini, lalu meremas-remas dan memilin-milin puting susuku. Aku
terhenyak dan memejamkan mata karena serbuan yang tiba-tiba itu, segera
aku mengosongkan pikiran dan membuang semua logika, membiarkan diri
larut dalam petualangan baru.
Pelan-pelan aku merasa tubuhku diangkat dan didudukkan di ranjang,
sementara Beni duduk di belakangku dan mengusap serta meremas-remas
kedua payudaraku lembut. Sejenak kemudian puting-puting susuku terasa
menegang terangsang, sementara payudara ini terasa kaku dan memadat.
Aku membuka mata dan melihat bagaimana Mbak Ida menghimpit pinggang
Nova dari belakang dengan kedua kakinya, ibu jari kaki kanan Mbak Ida
kini menyusup ke balik celana bikini Nova dan bergerak-gerak disitu,
sementara tangannya terus menjentik-jentik puting susu Nova. Mbak Ida
sendiri tampak amat terangsang, dagunya terkait di pundak kiri Nova
sambil wajahnya terpejam-pejam, mungkin karena gesekan dadanya dengan
punggung Nova. Sementara Nova tak kalah terangsang, kedua alisnya
menyatu di tengah kening dan giginya terkatup meski bibirnya setengah
terbuka, dan mendesah-desah norak.
"Aduuhh.. aduuhh.. enaknya Mbak Idaa.. aduuhhsshh." Birahi dalam
tubuhku tergugah ketika melihat Nova diperlakukan seperti itu,
terbayang rasanya jika badanku diperlakukan demikian. Tampaknya Beni
menyadari hal itu, namun tidak menirukan gerakan Mbak Ida. Ia
menyusupkan kepalanya di bawah ketiak kiriku dan mengulum-ngulum puting
susuku dari situ, Uhh.. rasanya geli dan merangsang bukan main.
Sementara jari-jari tangan kanannya menguakkan bibir kewanitaanku
hingga terbuka dan jari tangan kirinya memijit-mijit di dalam situ,
"Aduuhh.." nafasku sampai tersengal-sengal dan rasanya sulit menjaga
kedua mataku agar tidak menyipit-nyipit. Aku hanya menggeretakkan
gigiku rapat-rapat menahan rangsangan ini. Ingin memejamkan mata, namun
aku tidak ingin melewatkan pemandangan di hadapanku, dimana Nova sedang
dikerjai habis-habisan oleh tangan-tangan Mbak Ida yang begitu
berpengalaman. Ohh, sungguh pemandangan yang membuat kewanitaanku
berdesir melembab.
Bersambung ke bagian 03
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1637